There is a saying in Manado, capital of North Sulawesi: “Manadonese eat everything with four legs – except tables and chairs.” The Minahasans, the ethnic group of North Sulawesi, are notorious for their ‘unusual’ meat choices – fruit bat and dog are often on the menu. Before the Minahasans converted to Christianity (North Sulawesi was first colonized by the Portuguese) they were animists who lived in some of Indonesia’s lushest rainforests, which flapped and crawled with jungle creatures. It made perfect sense to eat fruit bat!
Called paniki, it is a surprisingly substantial and succulent, sweet meat, which is usually served as paniki woku, a mild yellow curry laced with lemongrass and kaffir lime leaves. The meat is not unlike chicken, but lighter and finer. Its pleasant sweetness is of course because the large, black bats dine on tropical fruit all day. Delicious.
—
Orang Manado, ibukota Sulawesi Utara kerap berkata “Torang manado makang semua ampa kaki maar meja deng kaldera nyanda noo.” Atau dalam bahasa Indonesia artinya, “Orang Manado makan semua yang berkaki empat, kecuali meja dan kursi.”
Warga Minahasa, suku asli di Sulawesi Utara, terkenal akan pilihan makanan mereka yang tidak biasa, seperti kelelewar dan anjing. Ini karena sebelum suku Minahasa memeluk agama Kristen (Sulawesi Utara pernah dijajah oleh bangsa Portugis), mereka memiliki kepercayaan animisme dan tinggal di dalam hutan, membuat mereka terbiasa untuk menyantap apa saja yang lewat di depan mata untuk bertahan hidup.
Kelelawar disebut paniki dalam bahasa Manado dan memiliki tekstur daging yang lezat, manis, dan lebih lembut dari daging ayam, seringkali dimasak sebagai woku, kari versi Manado dengan rasa sereh, daun jeruk, dan kemangi yang kental. Rasa manis dari daging paniki didapatkan dari kebiasaan mereka memakan buah sebagai makanan utama.